Rabu, 09 Desember 2015

PULAU LANCANG

Sejarah




Pulau Lancang, Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan memiliki sejarah yang unik, menurut sumber H. Ambo Menteng (ALM) sekitar tahun 1933, ada tiga keluarga nelayan yang datang ke pulau ini untuk mencari ikan karena pada zaman itu masih banyak manusia yang hidup nomaden alias berpindah-pindah.

Awalnya para nelayan yang berasal dari daratan(sekarang bernama karanghantu, banten) hanya mencari ikan atau beristirahat beberapa hari di Pulau ini kemudian mereka kembali kedaratan untuk membarter hasil tangkapan mereka dengan beras dan menemui keluarga mereka tapi karena sumber daya laut yang ada dipulau ini tidak habis-habis dan jarak antara mereka dengan keluarga sangat jauh (karena pada tahun itu dari daratan menuju pulau ini hanya dengan menggunakan perahu) akhirnya ada tiga keluarga yang berinisiatif untuk menetap dipulau ini. Para nelayan inipun pindah kepulau ini dengan membawa sanak saudaranya, kemudian membuat tenda/rumah semetara (yang dibuat dari bambu-bambu dan pelepah daun kelapa).

Karena sudah merasa agak tua dan sudah tidak kuat lagi melaut akhirnya seorang kakek yang berasal dari salah satu keluarga memutuskan untuk berkebun dan mencari kayu bakar yang dibantu oleh istrinya. Kayu bakar ini untuk dijual ke daratan.

Akhirnya sepasang kakek nenek ini mebawa Kayu Bakar nya ke daratan seberang dengan menggunakan perahu. Ketika perahu tengah didayung oleh kakek dan nenek itu tiba-tiba banyak sekali ikan yang berlompatan dari air ke perahu mereka. Karena ikan tiada henti-hentinya berlompatan akhirnya mereka mebuang sebagian banyak kayu tersebut, tapi setelah kayu-kayu tersebut dibuang ikan-ikan masih tetap berlompatan keperahu mereka hingga perahu mereka hampir tenggelam kemudian mereka membuang semua kayu bakar yang mereka miliki hingga habis. akhirnya ikan-ikan pun berhenti berlompatan hingga akhirnya merekapun selamat. Sikakek berpikir bahwa yang menyebabkan ikan-ikan tersebut berlompatan keperahu nya pasti karena kayu bakar yang dibawanya, Kayu bakar itu berasal dari pohon klancang. Sejak saat itu, pulau ini dinamakan Pulau Klancang. Entah kenapa lama kelamaan warga menyebut pulau ini dengan nama PULAU LANCANG. Mungkin karena penyebutannya lebih mudah. Sekarang ini kayu klancang tersebut sudah tidak ada lagi di pulau ini.

Sejarah lain mengatakan bahwa penamaan pulau lancang bukan dari kisah sepasang kakek nenek yang naek perahu tersebut. Nama Pulau lancang awalnya adalah plancang. Plancang adalah kayu atau bambu yang tertancap didasar laut hingga terlihat dari atas permukaan air. Karena nelayan yang datang kepulau ini sebagian adalah nelayan bagan. maka mereka menandai dahulu lokasi bagan yang akan didirikan dengan kayu atau nibung. Fungsi dari Plancang sangat banyak selain untuk penanda, ada kayu yang ditancap untuk tempat mengikat tali kapal dan perahu, untuk menempatkan jaring-jaring ikan dan lain-lain, hingga akhirnya menyebabkan banyak kayu yang menancap (plancang) didaerah perairan pulau lancang ini maka dinamakanlah pulau ini, pulau yang banyak Plancangnya dan akhirnya dengan seiring berjalannya waktu jadilah nama pulau lancang . Plancang ini masih sering disebut-sebut oleh warga pulau lancang.
Walaupun penulis sendiri warga pulau lancang tapi penulis belum tahu yang mana yang paling benar.




PULAU UNTUNG JAWA

Di usianya yang cukup tua (sekitar 6 generasi), Pulau Untung Jawa menyimpan "sekelumit sejarah" seputar pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Saat Indonesia dikuasai Oleh Hindia Belanda, ternyata pulau-pulau di wilayah Kelurahan Pulau Untung Jawa sudah dikuasai oleh orang-orang pribumi yang berasal dari daratan Pulau Jawa. Sejak tahun 1920-an wilayah ini dipimpin oleh seseorang yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Bek' (Lurah-red) Fi'i dan Bek Kasim, yang berdomisili di Pulau Kherkof dan memimpin beberapa pulau.
Penguasaan Belanda menjadikan nama-nama pulau yang ada dikepulauan seribu sekarang yang kita kenal berbau Belanda, kemudian pasca kemerdekaan RI nama nama tersebut telah diubah. beberapa nama pulau yang diganti adalah sebagai berikut :
  • Pulau Amiterdam menjadi Pulau Untung Jawa.
  • Pulau Middbur menjadi Pulau Rambut (suaka margasatwa).
  • Pulau Rotterdam menjadi Pulau Ubi Besar.
  • Pulau Sehiedam menjadi Pulau Ubi Kecil.
  • Pulau Purmerend menjadi Pulau Sakit kemudian diubah kembali menjadi Pulau Bidadari.
  • Pulau Kherkof menjadi Pulau Kelor.
  • Pulau Kuiper menjadi Pulau Cipir/Khayangan.
  • Pulau Kapal/Pulau Sibuk menjadi Pulau Onrust.

PindahSunting

Sekitar tahun 1930-an, karena kondisi daratan pulau yang abrasi (terkikis oleh air laut), Bek Marah (nama Lurah tersebut) menganjurkan rakyatnya yang tinggal di Pulau Kherkof untuk pindah ke Pulau Amiterdam (Untung Jawa).
Perjalanan dengan kapal layar sampailah di Pulau Amiterdam, dan penduduk asli pulau menerima dengan tangan terbuka. Nama asli penduduk Amiterdam tersebut antara lain Cule, Kemple, Derahman, Derahim, Selihun, Sa'adi, Saemin dll, mereka menganjurkan agar segera memilih lahan untuk langsung 'digarap'. Akhirnya Pulau Amiterdam berganti nama menjadi "Pulau Untung Jawa" yang berarti keberuntungan bagi orang orang dari daratan Pulau Jawa saat itu.
Berakhirnya nama Amiterdam dan berakhir pula pulau kepemimpinan Bek Marah yang kemudian digantikan oleh Bek Midih dengan masa jabatan selama kurang lebih 10 tahun, lalu dilanjutkan kembali oleh Bek Markasan kemudian Bek Saenan.

Serangan Nyamuk besar-besaranSunting

Sekitar tahun 1940-an tibalah kemalangan bagi penduduk Pulau Untung Jawa yakni datangnya serangan nyamuk besar-besaran, karena tak tahan dengan penderitaan rakyatnya, Bek Saenan menyarankan untuk bermukim ke Pulau Ubi Besar. Namun kiranya penderitaan seakan tiada pernah ada hentinya. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari hari yang biasa mereka dapat dari Pasar Ikan Sunda Kelapa menjadi sangat sulit. Ini diakibatkan oleh penjajahan Nippon (Jepang) saat itu.
Tahun 1945 perubahan besar terjadi diseluruh pelosok Nusantara karena Indonesia telah merdeka dari belenggu penjajah. Perubahan inipun dirasakan oleh masyarakat kepulauan seribu pada umumnya. Antara lain kata 'Bek' berubah menjadi Lurah begitu juga dengan kepemimpinannya.
Pemerintahan bukan lagi Hindia Belanda atau Jepang, melainkan Pemerintahan Indonesia. Berubahnya mekanisme kepemerintahan, Bek Saenan pun digantikan oleh Lurah pertama yaitu Lurah Maesan.
Hari berganti hari, bulanpun demikian, tanpa disadari Pulau Ubi Besar tak luput dari abrasi. Atas prakarsa Lurah Maesan dengan persetujuan pemerintah mereka hijrah yang kedua kalinya ke Pulau Untung Jawa.

Menjadi Desa Wisata NelayanSunting

Pada 13 Februari 1954, Lurah bersama penduduk berinisiatif mendirikan tugu peringatan kepindahan yang terletak di tengah tengah pulau tersebut. Mulai saat itu semakin banyak kemajuan yang dirasakan masyarakat Pulau Untung Jawa dan pemerintah DKI tidak tinggal diam memperhatikan kemajuannya.
Lama sudah kepemimpinan Lurah Maesan dan kemudian dilanjutkan oleh lurah-lurah lainnya. Nama-nama lurah yang memimpin di Pulau Untung Jawa sampai dengan sekarang ini adalah : Maesan, Muran, sumawi, Marzuki, Safi'i, Abdul Manaf, Machbub Sanadi, Haman Sudjana, Ambas, Slamet Riyadi S.sos, Agus Irwanto dan Eko Suroyo, S.Sos., M.Si.
Pemerintah dengan segala daya upaya yang didukung oleh masyarakat terus meningkatkan pembangunan dan taraf kehidupan. Dan akhirnya mulai tahun 2002 Pulau Untung Jawa dicanangkan sebagai Desa Wisata Nelayan.

PULAU PRAMUKA

Sejumput Kisah Si Pulau Pramuka Di tengah kepenatan dan keletihan pada kehidupan bermasyarakat, tentunya kita memerlukan adanya penyegaran atau refresh sejenak. Agar keseimbangan mental kita terus terjaga. Maka banyak dari kita memilih berlibur atau beriwisata ke tempat yang bergengsi tentu pula indah. Agak aneh kelihatanya, ketika kita lebih memilih berwisata ke negeri orang namun kita abai pada daya tempat wisata negeri sendiri. Padahal di negeri kita sendiri ini pun masih banyak menjulang berbagai tempat yang sangat indah. Dari pegunungan, pantai, pulau dan lain-lain yang tentunya menyimpan banyak cerita atau sejarah tersendiri. Bersentuhan dengan hal itu, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang salah satu tempat wisata Nasional yang secara finansial terjangkau bagi masyarakat kelas manapun asal rajin menabung, dan secara gengsi tempat ini juga tidak memalukan apabila anda mengabadikan wujud fotonya lantas memamerkanya di media social anda. :) Adalah Pulau Pramuka, pulau ini berada di wilayah kepulauan Seribu. DKI jakarta. Sama halnya dengan Pulau Bidadari dan Pulau Panggang. Tepat satu bulan yang lalu saya baru saja berkunjung ke pulau tersebut. Untuk kali pertamanya saya menyeberangi lautan dan menumpaki kapal. Dari pelabuhan muara angke menuju ke pulau pramuka memakan waktu lebih kurang dua setengah jam, sehingga pada satu jam pertama saya berhasil di buat gelombang- yang awak kapal bilang sedang lumayan tinggi- muntah. Bagaimana tidak, Kapal dibuatnya bergoyang 90 derajat ke kanan ke kiri. Tapi buat siapa saja yang takut mabuk laut ketika naik kapal. Jangan khawatir karena itu hanya berlangsung beberapa jenak saja. Sebab, ketika biru dan jernihnya air laut sudah berada di sekitar kita dan tepi pulau sudah terpandang, seketika rasa mual akan sirna dengan sendirinya, dan terciptalah rasa tidak sabar, penasaran dan antusias, untuk segara menginjak pulau tersebut. Sesampai di dermaga dapat terlihat jelas karang-karang, rumput laut serta ikan-ikan di permukaan laut yang airnya biru muda bagai langit di pagi hari. Banyak juga para wisatawan yang sedang bersiap-siap untuk menyelam. Tidak sedikit pula Nelayan dan para warga asli pulau yang sedang berkeliaran di pinggir pulau. Ada yang mencari ikan, ada pula yang berdagang. Pulau yang sudah tidak liar ini menyimpan banyak kisah dan sejarah. Ya tentunya tidak dengan mudah pulau ini bisa berkembang. Rekan saya Amar mendapat banyak informasi dari pulau ini. Dalam laporannya Amar menulis . . “ Pada era orde lama, pulau Pramuka bernama Pulau Elang. Bahnawi, tokoh masyarakat asli kelahiran pulau Panggang 50 tahun lalu, mengatakan bahwa hingga tahun 1980-an masih dapat kita temukan elang bondol, yang sekarang kita kenal sebagai lambang DKI Jakarta. Elang-elang itu hilang seiring pembersihan pulau untuk dijadikan perkampungan. Sejarahnya, sebelum ada Bumi Perkemahan Ragunan dan Cibubur di Jakarta daratan (istilah masyarakat setempat bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa) pihak Kepramukaan mengirim anggotanya untuk berlatih di pulau ini. Terjadi pada sekitar tahun 50-an hingga 60-an ,Pun dapat disimpulkan nama pramuka di ambil karena dahulu -sebelum banyak penduduk-pulau ini sering digunakan sebagai tempat pelatihan pramuka.” Bukan hanya Panorama Alam- pasir putih, beningnya air laut, ikan-ikan, terumbu karang- saja yang berhasil menarik perhatian serta rasa kagum saya. Namun budaya, penduduk, ragam suku dan bahasa, serta folklore(cerita rakyat) dari pulau ini cukup menggiurkan untuk saya selami. Saya akan meneritakan sedikit dari itu semua. Pada pemukiman penduduk yang sebagian juga menjadi wisma atau penginapan untuk para wisatawan tidak luput dari pasir putih. Ya pasir putih mengepung seluruh halaman rumah, pekarangan, dan jalan. Tentu pasir itu asli dari laut, seperti halnya pasir pantai. Dulu mungkin pemukiman itu adalah pantai. Ketika malam hari saya dan rekan pergi ke dermaga ke pinggir pulau untuk memancing ikan. Ikan-ikan kecil yang berwarna - warni yang bagai mencerminkan keragaman penduduk pulau nan ragam itu betapa jelas mereka terlihat sedang menyemut di permukaan air. Sungguh indah. Para penduduk asli pulau berkomunikasi menggunakan bermacam bahasa tentu karena banyak suku bersatu-padu di sana, dari bugis, jawa, sumatra, serta sunda. Saya bertemu salah satu anak pulau. Elie namanya. Pria lima belas tahun ini sering kali berkeliling pulau dengan sepedanya. Bila kalian pergi kesana kemungkinan besar kalian akan melihatnya. Elie berrkulit hitam berambut keriting, percis orang afrika. Saya banyak bertanya tentang pulau ini dengannya. Nada bicaranya tegas, dia mengaku keturunan sumatra, Batak namun saya lupa marganya. Yang jelas dari raut wajahnya yang ceria mencerminkan keadaan seisi penduduk yang tentram dan sejahtera. Ketika saya tanya sejarah kependudukan pulau ini dia kikuk. Dan dia jauh lebih paham tentang tempat-tempat yang bisa saya kunjungi. Seperti warung-warung makanan khas pulau, penjual minuman keras, penangkaran penyu, penyewaan alat menyelam dan lainya. Dia hafal diluar kepala. Selain Elie, saya berbincang-bincang juga dengan salah seorang guru yang mengajar di salah satu SMA negeri setempat. Mendapat informasi dari bocah-bocah kecil yang sedang asik bermain sepak bola dilapangan sekolah, saya dan rekan-rekan langsung berkunjung ke tempat tinggal beliau yang tidak jauh dari lapangan sekolah. Sebut saja Sukirman. Pria paruh baya ini adalah asli Jawa tengah. Dari nada bicaranya masih jelas berasa ke’medokan’nya. Dari solo katanya ketika saya tanya. Pak Sukirman tinggal dengan istrinya yang guru juga. Saya dapat banyak informasi tentang sejarah di pulau ini dari beliau. Ketika saya tanya tentang sejarah kependudukan pulau ini dia langsung menceritakan dengan senang hati. “ dulu pulau ini tidak ada penduduknya. Tapi lebih dulu pulau seberang. Yaitu pulau Panggang. Waktu era sebelum indonesia merdeka banyak pelaut banten,bugis,jawa, berlayar kepulau panggang. Tadinya mereka hanya sekedar mencari ikan. Dulu ikan jauh lebih banyak dibanding sekarang. Lama kelamaan pelaut bugis membangun wisam kecil untuk sekedar menginap. Apabila hendak ke pulau itu. dan para pelaut dari suku lainnya banyak yang mengikuti. Sehingga banyak dari mereka memutuskan untuk menetap di pulau-panggang- itu. Pun lambat-laun mereka beranak pinak sampai pulau itu kelewat padat. Dan pulau terdekat adalah pulau pramuka. Dan seiring berjalannya waktu, banyak keturunan suku-suku yang tinggal di pulau panggang hijrah ke pulau pramuka” Pulau elang adalah nama dulu dari pulau pramuka. Dari penjelasan lebih dalam pak Sukirman, dahulu di pulau elang pada era 50-60an pihak kepramukaan sering mengirim anggota ke pulau ini untuk berlatih. Sehingga, seiring berdatangnya penduduk yang hijrah dari pulau panggang ke pulau –pramuka- ini, pulau ini pun diberi nama pulau Pramka dan resmi dijadikan perkampungan. Beliau juga menyatakan kalau adat resmi yang sering dipakai penduduk adalah adat betawi sebagai pemersatu, seperti ketika pernikahan atau sunatan. Walau kadang masih ada pula yang memakai adat asli suku. Setelah asik bercerita tentang sejarah pulau ini kami juga asik berbicara tentang kependidikan pulau ini. Pak sukirman adalah guru olah raga, beliau lulusan dari UNISMA daerah bekasi. Dia bercerita... “ Dulu tahun 80an, di sini hanya ada sekolah panggung, dengan bangunan minim dan segalanya seadanya” Dan sekarang saya melihat sendiri sekolah-sekolah di pulau ini, pemerintah sudah sangat memperhatikan pulau ini, sehingga sarana kependidikan di sana sudah berkembang pesat. Dari bangunan, guru dan kurikulum. Walau masih ada bangunan yang belum selesai atau masih dalam proses pengerjaan. Rekan saya Amar mendapat informasi tentang cerita rakyat pulau pramuka. Dalam laporannya amar menuliskan... “ Ketika penyerbuan tentara Belanda ke wilayah ini, ingin mengadakan sapu bersih, secara ajaib Pulau Panggang dan Pramuka menghilang tertutup kabut tebal, dan juga dari penglihatan radar. Ini dipercaya ulah penunggu pulau itu di kepulauan ini, ada sosok penjaga yang berkuda putih, masyarakat menyebutnya dengan Penunggang Kuda Putih. Sosoknya seperti seorang syaikh, membawa lentera, dan hanya muncul setiap malam jum’at. Ia akan lebih sering muncul ketika ada bala atau sihir. Dahulu, di pulau ini sering sekali ada penyihir yang mengeluarkan kutukan. Masyarakat jawa menyebutnya santet. Kisahnya, apabila seorang anak tidur pada siang hari, maka sore harinya akan hilang, dan tidak ditemukan. Pada pagi harinya, anak tersebut akan ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan di pulau itu, tanpa luka, tetapi sudah tidak bernyawa. Akan tetapi, disebabkan oleh Penunggang Kuda Putih ini, sihir tersebut dipercaya mental dan tidak dapat menembus dinding ghaib pulau Panggang dan Pramuka” Tidak Kurang seperti itu saja yang dapat saya bagi tentang pulau Pramuka. Karena masih banyak cerita tentang pulau ini yang mungkin luput dari pengamatan saya, maka sudah semestinya anda berkunjung ke sana untuk menyempurnakan secuil informasi yang baru saja anda dapatkan di tulisan sederhana ini. Terimaksi

PULAU KELAPA

Pulau Kelapa merupakan salah satu pulau terpadat di wilayah Kepulauan Seribu. Menurut cerita asal mula dinamakan Pulau Kelapa karena dahulunya pulau tersebut banyak di tumbuhi pohon Kelapa. Penduduk yang menghuni Pulau Kelapa sangat heterogen, dapat dikatakan hampir sebagian suku yang ada di Indonesia tinggal di Pulau Kelapa walaupun jumlahnya sangat sedikit. Penduduk yang menghuni Pulau Kelapa ini di dominasi oleh orang-orang Betawi, Banten, Bugis Jawa, Sumatera dan daerah lainnya. Menurut cerita masyarakat setempat banyak hal yang menyebabkan suku dari daerah tersebut menetap di Pulau Kelapa, contohnya kejadiannya pada jaman dahulu bila para pelaut yang melintasi perairan Kepulauan Seribu dengan tujuan ke Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami kecelakaan dalam berlayar. Kapal yang mereka tumpangi tenggelam dan mereka pun tidak bisa meneruskan perjalanan, mereka ditolong oleh penduduk setempat. Karena kapal mereka tidak bisa meneruskan perjalanan, akhirnya mereka menetap di pulau tersebut dan dalam perjalanan waktu terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Selain peristiwa tersebut banyak hal yang menyebabkan banyaknya suku bangsa yang menetap di Pulau Kelapa. Dermaga P. Kelapa di sebelah barat Menurut Tim Peneliti Dinas Museum dan Sejarah, bagian geografi dan perkembangan kota tua tahun 1970, menyebutkan tentang ditemukannya makam-makam tua dengan batu nisan yang terbuat dari batu karang. Salah satunya terdapat di depan Puskesmas Pulau Kelapa. Selain itu juga di tepi pantai selatan Pulau Kelapa di temukan dua buah meriam kuno yang dibuat pada tahun 1700. Pada masa lalu Kelapa dengan Pulau Harapan terpisah. Kemudian sekitar tahun 1950-an, dibangun jalan yang menghubungkan antara kedua Pulau tersebut dengan panjang sekitar 200 meter. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk mempermudah akses transportasi karena pada saat itu telah terjadi migrasi masyarakat Pulau Kelapa ke Pulau Harapan dikarenakan penduduk Pulau Kelapa yang cukup padat. Sedangkan pada masa kini intensitas pendatang ke pulau ini cukup tinggi dan menyebabkan Pulau Kelapa sebagai pulau paling banyak penduduknya di Kepulauan Seribu. Mata pencaharian penduduk Pulau Kelapa sebagian besar adalah nelayan, transportasi laut didominasi kapal ojek dengan tujuan yang bermacam-macam seperti Muara Angke, Mauk, Kronjo sedangkan dengan tujuan Marina Ancol menggunakan Kapal Kerapu.

PULAU PANGGANG & P.KARYA

Sejarah Singkat Terjadinya Tragadi Perairan Pulau Panggang dan Pulau Karya Pada tahun 1527M Pulau Panggang dan Pulau Cina (sekarang Pulau Karya) di masa zaman penjajahan Belanda merupakan salah satu tempat transit para pedagang Cina. Hal inilah yang membuat pulau-pulau ini sering didatangi oleh perompak guna mengambil paksa harta para pedagang dan tanpa segan-segan membunuh para pedagang tersebut dengan cara di panggang di tangah laut di perairan gosong pemanggang. Pada saat itu Pulau Panggang telah duhuni oleh pendatang dari suku Banten dan Mandar. Sampai pada abad ke-18 para perompak masih sering datang ke Pulau Cina, akhirnya di masa yang sama hadir seorang ulama besar dari Batavia (sekarang Jakarta) bernama Habib ‘Ali. Menurut Sejarah masyarakat Pulau Panggang, ulama tersebut menyebrang dari tepian pantai Batavia, karena tidak ada kapal atau perahu Beliau berdo’a kepada Allah SWT di tepian pantai batavia tidak lama kemudian munculah seribu lumba-lumba menghampirinya dan kemudian Beliau naik ke punggung salah satu lumba-lumba tersebut. Adapun maksud kedatangan beliau adalah untuk berdakwah di wilayah Pulau Panggang. Habib ‘Ali berdakwah di Batavia dan di Pulau Panggang, pada suatu hari ketika hendak bertolak dari Batavia di tengah-tengah perjalanan menuju Pulau Panggang Beliau dihadang oleh gerombolan perompak yang biasa menjarah di wilayah Pulau Panggang. Dengan tenang Habib ‘Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut, atas izin Allah SWT kayu kecil tersebut berubah menjadi karang yang meng-karamkan dan menenggelamkan seluruh kapal perompak, setelah itu Habib ‘Ali dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Panggang. Tidak lama setelah itu datanglah pasukan Belanda ke Pulau Panggang dengan maksud mengangkut Penduduk Pulau Panggang dan akan dibawa ke Batavia untuk kerja paksa, melihat hal ini Habib ‘Ali menangis dan beliau berdo’a kepada allah SWT dengan do’a : “Ya Allah... Selamatkanlah penduduk Pulau Panggang...” tak lama kemudian rantai-rantai besi yang mengikat Kapal para penduduk terputus dan seluruh Kapal Belanda tenggelam, namun tidak kapal penduduk sehingga mereka dapat dengan mudah kembali lagi ke Pulau Panggang. Terlepas dari masalah perompak, selain syiar agama islam pada tahun 1928 Pulau Panggang telah didatangi oleh beberapa tokoh pendidik perguruan Taman Siswa diataranya bernama Ibu Sidik dan Bapak Mitro dan tokoh Sekolah Rakyat yaitu Bapak Guru Mahmud. Bapak Guru Mahmud adalah pendidik pertama yang mendirikan sekolah dengan biaya sendiri di Pulau Panggang. Sampai pada tahun 1959, seiring dengan perkembangan zaman Sekolah Taman Siswa dan Sekolah Rakyat (SR) berubah menjadi Sekolah Dasar melalui usul pemerintah saat itu juga ditempatkan dua orang guru yang bernama Bapak Madari Amsir dan Bapak Bambang Siswanto. Untung tak dapat di raih malang tak dapat di tolak, pada tahun 1960 beliau berdua pergi tugas untuk rapat di Pulau Tidung, gelombang laut sedang tidak bersahabat karena memang saat itu adalah musim barat daya, dengan cepat perubahan angin disertai gelombang berputar berubah menjadi angin timur. Sementara beliau pada saat dikapal sedang dalam posisi tertidur ketika kapal terhempas diterjang gelombang angin yang sangat dahsyat, akhirnya beliau berdua terlempar ke dasar laut perairan karang beras dan tidak terselamatkan. Beberapa hari kemudian jasad Bapak Madari Amsir ditemukan di pingggiran pantai Pulau Karang Beras, sedangkan Jasad Bapak Bambang Siswanto sampai saat ini belum ditemukan. Tahun 1970 dimulailah pembangunan Dermaga Pulau Pramuka oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui CV. Parakan, pada saat pembangunan dermaga ini terjadi pesugihan di Pulau Panggang untuk mengejar kekayaan yang dilakukan Nelayan Suku Bugis yang menumpang di Pulau Panggang, dengan menggunakan ilmu hitam, mantera-mantera dan segala macam perlengkapan pesugihan yang lengkap untuk meminta tumbal. Pada saat itu tercatat 30 orang meninggal dunia dalam 3 hari (10 orang perhari) berturut-turut. Kemudian penduduk asli Pulau Panggang melaksanakan do’a kepada Allah SWT yang dipimpin oleh Habib Hasyim dan Kyai Azma’in untuk melawan ilmu hitam kaum nelayan bugis. Akhirnya Para Habib dan Kyai dengan izin Allah SWT dapat mengalahkan sihir mereka dan menangkap mereka, diantaranya adalah 3 orang yang bernama Suki, Taro dan Udin. Mereka bertiga diserahkan ke kawadenan yang pada saat itu dipimpin oleh Lurah Bapak dahlan namun tiba-tiba saja masyarakat menyerbu dan merusak sarana kantor, menjebol pintu tahanan yang ada di kantor kemudian ketiga pelaku dibunuh dengan cara mengikat dan menenggelamkan mereka di perairan karang beras, karena mereka tidak dapat dibunuh dengan cara yang biasa.